Jumat, 08 Oktober 2010

Dr. Yusuf Merukh, MPA., Pengusaha Tambang nan Sederhana, Berani & Tegas


Jusuf Merukh, pria kelahiran 10 Juni 1936 di Pulau Rote, NTT. Dia dibesarkan di Ujungpandang. Jusuf adalah anak dari pasangan Yunus Merukh (pegawai pemerintah Belanda di Maros yang kemudian bekerja di perusahaan swasta milik Belanda), dan Esther Merukh. Seluruh pendidikan dari SD sampai tingkat
menengah dilalui Jusuf di Ujungpandang (Makassar). S-1 di Texas Agricultural and Mechanical University, AS. Menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada1981, berdasarkan Pemilu 1973. Pada 1992, Jusuf dicopot dari Komisi VI DPR.


Jika diurut ke belakang, ia termasuk orang yang dekat dengan kekuasaan Orde
 sekaligus Orde Baru. Di masa Bung Karno, misalnya. Jusuf termasuk
salah seorang yang sering dipanggil ke istana. Mas Jusuf, demikian Bung
Karno dan keluarganya memanggil, tak cuma terlibat dalam soal urusan
negara. Tapi juga kepentingan keluarga Presiden. Sebagai Ketua PNI Ja
karta Selatan, dialah yang mencarikan lahan untuk tempat tinggal Guntur
dan Megawati, di kawasan Kebayoran. Begitu pula ketika Dewi Soekarno
ingin membuat sertifikat tanahnya. Ibu negara ini tak segan-segan meminta
bantuan Jusuf. Bukan cuma untuk mengurus sertifikat, karena Jusuf menjabat
sebagai Pembantu Utama Kementerian Agraria. Lebih dari itu, Ibu Dewi juga
meminta agar mobilnya dijualkan untuk biaya pembuatan sertifikat tersebut.
Saking seringnya dipanggil Presiden, sampai-sampai banyak orang menduga
saya ini mau dijadikan menteri ke-101, katanya mengenang.

Yusuf Kemudian menjadi pengusaha, sejak 1969 setelah berhenti memangku jabatan sebagai
Deputi Menteri Agraria, dengan pangkat golongan F-6. Pada waktu itu Pak Amir
Machmoed (Mendagri waktu itu) mengeluarkan Permendagri, bahwa pegawai
negeri, pegawai tinggi, harus memilih, apakah melanjutkan menjadi anggota
partai, atau menjadi pegawai negeri. "Lho, saya sudah F-6 tunggu-tunggu di
sini mau jadi apa? Padahal, umur saya waktu itu baru 28 tahun," katanya.

Diceritakannya, sejak kembali dari Amerika, dia langsung menjadi pegawai
negeri dengan golongan F-2, pada l960. Setelah dua tahun, naik pangkat,
terus, sehingga pada 1963 sudah F-6. Jadi, dia mengatakan kepada Amir
Machmoed untuk berhenti sebagai pegawai negeri. Waktu itu dia telah menjadi
ketua PNI Jakarta. Lalu partai mencalonkannya pada Pemilu 1973.

Di era 70-an, Jusuf mengaku, sebagai kader PDI, saat itu ia kesusahan
mencari uang. Ia berpikir, alangkah bagusnya kalau bekerja dengan kerja
keras, berkeringat, dan dengan sistematis. "Dan kalau saya menemukan
tambang, akan dihargai orang luar, sehingga mudah membawa orang luar ke
dalam untuk kerja sama," katanya.

Dia mencontohkan di Sumbawa, yang sekarang menjadi lokasi penambangan emas
yang besar. Waktu itu, tuturnya, ketika melakukan survei dia memakai sepeda
motor. Di suatu tebing, dia terjatuh. Tiba-tiba, seperti ada suara yang
menyuruhnya untuk menengok ke suatu arah. Dia menuju ke arah tersebut, dan
tepat di tempat yang ditunjuk oleh "suara" tersebut, dia mulai menggali.
Akhirnya, dia menemukan, di balik permukaan tanah tersebut ternyata
mengandung emas.

Pada 1983, ketika Menteri Prof. Soebroto menjadi Menteri Pertambangan dan
Energi, ia menyampaikan "Pak, ini 'kan suatu waktu kita harus bisa mengurus
tambang-tambang ini. Masa' terus-menerus ditangani asing. Kalau kita tidak
belajar, kapan lagi kita bisa?" Walaupun waktu itu, banyak pejabat
pertambangan menentang. Mereka berdalih bahwa usaha pertambangan itu tidak
bisa ditangani orang Indonesia, hanya bisa oleh orang asing. Tetapi akhirnya
Pak Broto memutuskan, dan usul Jusuf di DPR itu disetujui, yaitu, usaha
pertambangan harus bermitra antara pihak asing dan Indonesia.
Ia mengusulkan demikian, karena sebelumnya, Jusuf melakukan studi di
Filipina. Di kawasan ASEAN, Filipina adalah satu-satunya negara yang
memiliki sejarah pertambangan yang lama, di mana orang Filipina ikut serta.
"Kita punya sejarah pertambangan yang lama, tetapi lamanya itu karena
Belanda, yang mengusahakan. Pribumi tidak ada," jelasnya.
Jadi, ketika mengusulkan hal itu kepada Soebroto, ia membandingkan, dengan
Filipina. Tahun 1983 di Filipina, sudah ada ketentuan bahwa orang asing,
pengusaha asing, setinggi-tingginya (memiliki) saham 40 persen saham. Dia
bisa menjadi 60 persen, dengan memperoleh 20 persen tambahan management fee,
tapi share holding 40 persen.

Singkatnya, Soebroto setuju. Ketika kran PMA dibuka, maka masuklah 103
perusahaan asing, yang harus mencari mitra orang Indonesia. "Nyarinya susah,
karena pada waktu itu belum ada pengusaha pertambangan. Wong saya dapat 34
kontrak karya. Karena mereka nyerbu masuk, kita tidak siap. Sekarang,
tinggal sedikit, tetapi sama seperti dulu, lisensi istimewa toh?" katanya.
(Antara tahun 1952-1953, di masa kabinet Wilopo, ketika diputuskan hendak
melaksanakan pembangunan ekonomi, dikeluarkan 2.000 lisensi istimewa kepada
pengusaha pribumi. Impor apa saja boleh, supaya mereka menjadi pengusaha.
Tetapi, dari jumlah itu, yang mampu bertahan dan berkembang, bisa dihitung
dengan jari. Di antaranya: Hasjim Ning, TD Pardede, Sudarpo, Bakrie. Yang
lainnya, berguguran, --Red.).
Demikian halnya dalam bidang pertambangan emas. Jusuf, yang pengusaha dan
juga Wakil Ketua Komisi VI saat itu (membidangi pertambangan, --Red.) di DPR, turut
terlibat dalam pembuatan draft kontrak karya.

Ia mengusulkan dua hal penting. Pertama, pemilikan Indonesia itu, tidak
perlu dimulai dengan besar, karena kita baru belajar. Bisa mulai 10, 20, 30
persen, tergantung negosiasi, sehingga waktu itu, pada umumnya pengusaha
Indonesia yang bermitra dengan pihak asing, rata-rata memiliki saham 10
persen. Hanya sedikit yang memiliki saham lebih dari 10 persen. Tetapi, ada
ketentuan: setelah lima tahun berproduksi, perusahaan asing itu
berangsur-angsur harus menjual sahamnya kepada mitranya, Indonesia, sampai
Indonesia memiliki 51 persen, dan asing 49 persen. "Itu usul saya di Dewan,"
ujar Jusuf.

Kedua, kalau mitra asing itu mau menjual sahamnya kepada siapa pun, harus
minta persetujuan kepada mitra Indonesianya, dan mendapatkan pengesahan
persetujuan dari pemerintah Indonesia. Mengapa? Waktu itu, Jusuf mendapat
inspirasi ketika perusahaan Mercedez Jerman, dibeli oleh perusahaan Arab.
Dan ternyata pengusaha Arab sekarang itu menjadi mayoritas pemegang saham
perusahaan Mercedez Jerman.

Tahun 70-an, ketika ia mulai terjun di pertambangan emas, harga emas 100
dolar per ounce, sedang ongkos produksinya 110 dolar. Maka, tidak ada orang
yang mau menambang emas. "Saya pikir-pikir, apa betul begitu? Suatu ketika
harga emas mesti naik dong?" ujar Jusuf. Maka, Jusuf bersama perusahaan
Amerika AMEX (American Metal Exploration), mencari chrome (waktu itu terjadi
perang di Rhodesia, sedangkan konsumsi chrome dunia 80 persen berasal dari
sana) hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Mereka mencari chrome mulai dari Aceh, Kalimantan, Irian, bahkan juga di
Halmahera dan Jawa, namun yang ditemukan malah emas. Teman dari Amex pun
pulang ke AS. Tapi, Jusuf berpikir, suatu ketika harga emas pasti naik.
Maka, ia pun mulai terjun ke dunia pertambangan emas. Ia mulai mencari, dan,
antara lain, ia menemukan Busang.

Pada 1985, sudah bisa diketahui prospek Busang. Setelah membuat KK dengan
Pemerintah pada 1987, maka pada 7 Oktober 1988, RD Chuck, geologist dari
Australia, melakukan penelitian secara mendalam, yang menunjukkan bahwa
Busang mempunyai potensi besar sebagai tambang emas. Waktu itu penggalian
(yang dilakukan bersamaan dengan penelitian) sudah masuk ke studi kelayakan
(feasibility study). Penemuan pada 1988 itu, sudah diumumkan di Australia.
"Jadi,bukannya Bre-X yang menemukan," kata Jusuf.

Cikal Bakal Kekayaan Merukh
Dengan bermodal gelar insinyur, kalau mau, Jusuf sebenarnya bisa menjadi
pejabat setingkat menteri. Itu terlihat dari lonjakan kariernya ketika di
Kementerian Agraria. Ketika itu, hanya dalam waktu dua tahun, ia mengalami
kenaikan golongan sampai empat kali, sehingga di awal tahun 1965 ia sudah
mengantungi surat pengangkatan untuk golongan F6. Itu bisa dimaklumi,
karena pada waktu itu (zaman Orla) yang namanya insinyur pertanian baru
ada tiga orang. Kalau sekarang, golongan itu sama dengan pangkat Jaksa
Agung. Sebab gubernur saja golongannya cuma F5, kata bekas Ketua Pemuda
Demokrat Sulawesi itu. Tapi, rupanya, dorongan untuk menjadi pekerja
politik lebih besar ketimbang naluri jadi pegawai negeri. Maka, ketika
Menteri Dalam Negeri Amir Machmud menyuruhnya memilih, jadi pegawai negeri
atau anggota partai politik, Jusuf lebih suka tetap menjadi anggota PNI.
Ia rela mengorbankan masa depannya tanpa mendapatkan uang pensiun seperser
pun. Maklum, masa kerjanya belum sampai 10 tahun. Perhitungan Jusuf
ketika itu, kendati ke luar dari pegawai negeri ia tetap akan hidup
berkecukupan. Soalnya, ketika menjadi pejabat, ada seorang pengusaha yang
berjanji akan memberi jatah usaha. Begini ceritanya. Suatu hari, ia
dipanggil Ali Sastroamidjojo. Tokoh PNI ini meminta agar Jusuf membantu
perizinan usaha perkebunan yang akan dibuka oleh seorang pengusaha Arab
bernama Jusuf Bahrun, di Aceh. Ia membantu bukan cuma karena si Bahrun ini
getol membantu keuangan partai, tapi juga menjanjikan saham sebanyak 30%.
Pokoknya kalau Bapak pensiun, saham ini boleh diambil, kata Bahrun kepada
Merukh. Makanya, selepas dari pegawai negeri, Merukh bersama istrinya
menemui Bahrun di Medan. Tapi entah kenapa, selama dua pekan tinggal di
sana, pengurusan saham yang dijanjikan di notaris tak kunjung tuntas.
Akhirnya, Merukh disarankan pulang ke Jakarta denga n janji akan dipanggil
lagi jika urusan pembagian saham di notaris selesai. Tapi apa yang
terjadi? Saham belum dibagi, pengusaha keturunan Arab itu keburu tewas
lantaran pesawat helikopter yang ditumpanginya jatuh. Akibatnya, Ya, saya
jadi tidak dapat apa-apa, ujar Jusuf.

Tak habis akal, Jusuf pun menghadap Menteri Kehutanan, yang ketika itu
dijabat Sudjarwo. Dari departemen inilah ia mem-peroleh ratusan ribu
hektare HPH di Kalimantan, Halmahera, dan Sulawesi. Ia bisa dengan mudah
memperoleh konsesi. Sebab, dulunya, sebag i kepala kabinet menteri, Jusuf
terhitung bos Sudjarwo.
ri sinilah ia menjadi kaya raya. HPH-nya
dikontrakkan pada pengusaha Jepang, sementara Jusuf sendiri
ongkang-ongkang kaki mengantungi royalti. Kalau you ketemu saya waktu itu,
you bisa lihat betapa kayanya saya, katanya mengenang. Pendapatan dari HPH
itu sebagian ditabung Jusuf di sebuah Bank Hongkong.

Karir Di Dunia Tambang Terus Meroket
Dalam satu kesempatan, Yusuf  Merukh pernah masuk dalam ranking no 76 orang terkaya di Indonesia versi Majalah Globe Asia. Perjalanan Jusuf Merukh dalam meraih sukses tergolong mulus. Sepulang dari Texas, ia disambut bukan cuma oleh PNI, tapi juga pemerintah. Dalam konteks ini, Yusuf menjadi salah satu orang terkaya dengan usia yang relative muda. Dengan 500 kuasa tambangnya, Jusuf menguasai sejumlah tambang emas.

Menurut Merukh, suatu hari, tahun 1970, datang ajakan dari Tony Branco
(temannya dari Amerika) untuk terjun ke bisnis pertambangan. Dengan modal
tabungan sebanyak US$ 5 juta, Jusuf membeli tak kurang dari 500 hak kuasa
pertambangan (KP). Tujuannya hanya satu , mencari chrom. Tapi sial, yang
ketemu selalu emas. Padahal, waktu itu harga emas sedang jatuh-jatuhnya:
US$ 100 per ounces alias US$ 10 di bawah biaya produksi. Kendati
ditinggal mitra asingnya, di beberapa lokasi Jusuf terus melakukan
penambangan. Hasilnya, selain emas, ia juga menemukan mangaan dari Pulau
Halmahera. Ekspor mangaan itu merupakan hasil pertama saya dari
pertambangan, katanya. Saking tertariknya pada pertambangan, ia tak
bosan-bosan mendesak pemerintah agar segera membuka bidang usaha ini bagi
investor asing. Usulan itu makin gencar diajukan ketika Menteri
Pertambangan dijabat Soebroto. Tidak sia-sia, pemerintah akhirnya
menyetujui usulan Merukh. Bahkan, bekas Ketua DPRD DKI ini ikut menyusun
aturan main yang harus dipenuhi kontrak karya (KK) yang melibatkan
investasi asing. Salah satu dari aturan main itu: pengalihan saham asing
harus dilakukan sepengetahuan Pemerintah Indonesia dan mitra lokal. Nah,
itulah sebabnya, kenapa Merukh tidak mengakui kepemilikan Bre-X di Busang.
Dan ia tetap menganggap Westralian Atan Minerals sebagai mitranya.
Kini Yusuf Merukh terus berekspansi. Kerajaan bisnisnya terus menjelma di bawah payung holding company yakni Merukh Enterprises. Dalam beberapa catatan, Merukh Enterprises kini membawahi beberapa perusahaan seperti PT. Pukuafu Indah (menguasai 20 persen saham di PT Newmont Nusa Tenggara yang beroperasi di Sumbawa Barat), PT Lebong Tandai (mengusai 100 persen saham Avocet Mining Plc-Malaysia), Sabang Merauke Raya Air Charter (SMAC) dan Dirgantara Air Services (DAS) – dengan kepemilikan 100 persen, PT Sumba Prima Iron, dan lainnya. Selain itu, Merukh Enterprises Corp kini membangun komunikasi dan mitra bisnis dengan berbagai perusahaan kelas dunia seperti; Newmont Mining Corporation (USA), Sumitomo Corporation (Japan), Avocet Mining (UK), ThyssenKrupp (Germany), International Mining Corporation Pty Ltd (Australia), Kopex SA (Poland), KGHM Polska Miedz (Poland), MAN Takraf (Germany),  Thiess Contractor (Australia), Roberts Schaefer Soros (USA),  SIG Manzini (Italy), China Metallugical Corp (China), Sino Steel (China), Sinnaker Capital Group. Lainnnya Meruk Enterprises juga pernah membangun mitra dan hubungan bisnis dengan Lehman Brothers dan Merrill Lynch International Bank Limited.
Dalam suatu kesempatan, Yusuf berkomentar singkat, “hidup ini harus dilakoni dengan kerja keras. Keberanian untuk bertindak dan mengambil keputusan adalah salah satu hal penting untuk dilakukan. Lebih dari itu, kesederhanaan dalam meladeni hidup adalah motivasi untuk berjuang lebih keras. Saya ini puluhan tahun hanya menggunakan kijang sebagai kendaraan pribadi, baru-baru ini saja diganti, tak enak dengan kawan-kawan”, ungkap Yusuf menyudahi cerita hidupnya. Inilah salah satu bukti kesederhanaan Yusuf Merukh, di tengah assetnya yang bajibun.


http://www.roabaca.com/profil/dr-yusuf-merukh-mpa-pengusaha-tambang-nan-sederhana-berani-tegas.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar