Sabtu, 20 November 2010

Diagnotika Eksploitasi Sumber Daya Alam

Eksploitasi terhadap SDA secara berlebihan tanpa perencanaan yang baik dengan tidak memperhatikan daya dukung lingkungannya, secara pasti telah membawa dampak bencana dan malapetaka ekologis yang masive bagi kelestarian dan keseimbangan ekosistem dan peri kehidupan di planet bumi
 
Pendahuluan

Salah satu hajat besar penyelenggaraan pemerintahan dalam negara adalah meningkatkan kesejahteraan hidup warganya, melalui pelaksanaan proses pembangunan di berbagai bidang. Nampak jelas semenjak orde baru memegang kendali pemerintahan, telah menempatkan pertumbuhan ekonomi dalam paradigma pembangunan nasional dengan salah satu strateginya adalah menguatkan peran konglomerasi perusahaan transnasional untuk eksploitasi sumber daya alam secara besar- besaran, sehingga diharapkan adanya Trickle Down Effect bagi masyarakat dalam mendapatkan jatah hasil pembangunan.

Menurut sistem hukum yang ada di Indonesia, bahwa SDA dan hutan dikuasai oleh negara cq pemerintah. Ruang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, baik secara individu maupun komunal, cenderung diabaikan, kalah dengan kepentingan kapital(modal) yang mendapat dukungan tegas dari pemerintah, karena pemerintah mendapat tekanan kuat dari para pemodal Internasional (Investor).

Dampak dari pola pengelolaan Sumber Daya Alam kita yang menitikberatkan pada eksploitasi secara besar-besaran, bermuara pada pada terjadinya degradasi dan deforestasi yang masive bagi sumber daya alam dan hutan, tidak kurang dari 2 juta ha tiap tahunnya, SDA kita hancur. Dan hampir di setiap titik investasi terjadi konflik berkepanjangan antara masyarakat, kapital dan pemerintah. Konflik penguasaan SDA terjadi manakala struktur dan tatanan hukum tidak lagi berpihak pada keadilan untuk pemenuhan hak- hak masyarakat lokal, yang tergantung hidupnya dari daya dukung lingkungan dan hutan.

Salah satu buah dari salah urusnya kekayaan SDA adalah terjadinya krisis energi yang kita saat ini. Harga BBM, listrik dan kebutuhan pokok lainnya yang kian melambung tinggi sehingga hampir sulit di jangkau oleh kemampuan ekonomi masyarakat terutama yang hidup merana dalam lingkaran kemiskinan. Ini terjadi karena SDA di Indonesia kebanyakan di kuasai oleh pihak Asing. Ironis memang, kekayaan alam melimpah diberikan kepada orang luar sementara kehidupan masyarakat kita kian sulit mendapatkan BBM dengan harga terjangkau.

Kemiskinan telah menjadi permasalahan pokok yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, hingga maret 2006 penduduk miskin Indonesia mencapai  39,05 juta orang utau 17,75 % dari total penduduk sebesar 220 juta orang, dan yang tinggaldi desa mencapai 63,4 (BPS). Kemiskinan adalah indikator terjadinya defisit kedaulatan dan keadilan. Kemiskinan terjadi akibat merosotnya ketahanan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat, akibat hilangnya potensi ketahanan dan daya dukung lingkungan hidup(Kertas posisi walhi).

Pembahasan
A. Ekploitasi SDA di Indonnesia

Ekspoitasi adalah meropakan upaya atau tindakan penguasaan dan penguaaan untuk mengeruk dan memeas potensi sumber daya, baik sumber daya alam, maupun sumber daya manusia ( tenaga kerja murah ). Keadaan Indonesia sebagai negara berkembang telah mendorong penyelenggara pemerintahan memanfaatkan keberadaan sumber daya alam yang melimpah, dengan harapan terjadinya percepatan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dan terjaganya stabilitas ekonomi secara nasional.

Kerentanan ekonomi sebagai negara berkembang dimanfaatkan secara sempurna oleh kekuatan ekonomi negara maju melalui multikorporasi, yang berusaha menjalin kerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk melakukan investasi pada berbagai bidang, seperti bidang Kehutanan, Pertambangan dan Energi, Perkebunan, pesisir dan Kelautan, Ekonomi dan Perdagangan, dan lain sebagainya.

Ketika mesin ekonomi Kapitalisme berputar cepat di Indonesia melakukan eksploitasi SDA, maka ketika itulah mencuat geliat perambahan SDA dari keberadaan mega-mega proyek industri skala besar di berbagai bidang. Data JATAM menunjukkan hingga akhir 2001 saja pemerintah telah mengeluarkan izin pertambangan sebanyak 3246 izin yang terdiri dari 893 izin kuasa pertambangan seluas 32.765 833 ha, izin kontra kerja sebanyak 110 dengan luas 8.410.106 hektar serta 2.138 izin SIPD yang dikeluarkan pemerintah daerah. Luas areal yang di tambangan sudah mencapai 66.891.496 ha atau lebih 35% dataran Indonesia.

Kita tidak heran jika dari ujung paling barat Wilayah Indonesia sampai yang paling timur, kini telah di eksploitasi secara membabi buta, wilyah Sumatra dirubah menjadi ladang minyak, gas, pulp, dan sawit, Kalimantan di kavlin untuk tambang Batu Bara dan mineral, HPH dan lain sebagai. Hal serupa juga terjadi di pulau Jawa, Sulawesi dan Irian jaya. Pada era 1990-an,seperti kepulauan Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku.

B.  Ekploitasi Lingkungan Hidup di Sumbawa

Kabupaten Sumbawa adalah salah satu daerah dari tujuh Kabupaten/Kota yang berada diwilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat, secara geografis terletak pada posisi 116 “42’ sampai dengan 118” 22’ Bujur Timur dan 8’ 8’ sampai dengan 9’ 7’ Litang Selatan serta memiliki luas wilayah 11.556,44 Km2 mencakup Luas daratan 6.643,98 Km2, Luas perairan: 4.912,46 Km2. Daerah Kabupaten Sumbawa merupakan daerah yang beriklim tropis yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Pada tahun 2004 temperatur maksimum mencapai 37,2 C yang terjadi pada bulan Nopember dan temperatur minimum 31,6 C yang terjadi pada bulan Agustus.

Adapun kondisi terkini dari hutan sumbawa, saat ini mendapat ancaman kerusakan yang cukup serius. Dengan diberlakukannya beberapa kebijakan seperti HPHH, HPHTI, IPK, IPKTM, KP & KK pertambangan, yang membuka peluang investor dalam mengeksploitasi hutan sehingga akan semakin memicu tingkat kerusakannya. Setiap tahunnya kawasan hutan Sumbawa diperkirakan mengalami penyempitan sekitar 1.100 hektar. Padahal luas hutan Sumbawa berdasarkan SK Mentri Pertanian No. 756 / kpts / Um / 10 / 1987 tanggal 17 Oktober 1987 adalah 519.529,52 Ha atau 61,17 % dari luas daratan. Saat ini saja diperkirakan luas hutan tropis yang masih asli hanya tinggal 38,06% dari luas hutan Sumbawa, itu berarti kawasan hutan yang kritis seluas 61,04 % (Study & analisa Loh 2001 - 2005)..

Saat ini ancaman bahaya ekologis yang terbesar datangnya dari investasi di bidang pertambangan (Newmont: Batu Hijau 58.830.69 Ha, Lemonte 14. 946. 36 Ha, Elang/Dodo 97. 204,60 Ha ), selain Newmont ada tiga KK pertambangan lagi yang masuk ke Sumbawa, yakni, PT. Newcres Sumbawa Jaya 32.410 Ha, PT. Sumbawa Timor Mining 114.300 Ha, PT. Mitra Sumbawa Mineral 387 200 Ha, dan yang terbaru PT. Southern Arc Mineral Inc. Dengan konsesi seluas 9,670 ha, serta 20 an KP  yang lainnya.

Dengan memperhatikan keberadaan KP dan  KK pertambangan, yang demikian besar mencapai luas 714.564.65 Ha, berarti luas keseluruhan KK pertambangan ini akan melahap habis hutan Sumbawa. Dari investasi tambang direncanakan akan memakan hutan lindung sekitar 44.949,58 Ha, sedangkan untuk kawasan suaka alam akan hilang sekitar 9.090.17 Ha.
Saat ini issu tentang Kuasa Pertambangan di Sumbawa lagi gencar beredar, saat ini ada sekitar 24 kuasa pertambangan di Sumbawa dengan total konsesi mencapai 262.321 ha. Kuasa Pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada badan/perseroan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Menurut pasal 2 ayat (1) PP Nomor 75 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas PP 32 tahun 1969 tentang pelaksanaan UU Nomor 11 tahun 19676, kuasa pertambangan dapat diberikan dalam bentuk:
•    Surat Keputusan Penugasan Pertambangan,
•    Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat dan
•    Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan.
Surat Keputusan Penugasan Pertambangan adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya kepada instansi pemerintah yang meliputi tahap kegiatan penyelidikan umum dan eksplorasi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Pasal 2 ayat (2).
Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat diberikan oleh Bupati/Walikota kepada rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas yang meliputi tahap kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian serta pengangkutan dan penjualan sebagaimana dijelaskan pada Peraturan Pemerintah  Nomor 75 Tahun 2001 Pasal 2 ayat (3).
Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya kepada perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Badan Usaha Swasta atau perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan yang meliputi tahap penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan sebagaimana dijelaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Pasal 2  ayat (4).  Adapun untuk melaksanakan usaha pertambangan bahan galian yang tidak termasuk golongan bahan galian vital dan strategis disebut surat izin pertambangan daerah(SIPD).  
C. Problematika  SDA/Lingkungan 

SDA adalah kekayaan bangsa yang tak ternilai bagi manusia, yang telah memberikan dorongan bagi berlangsungnya proses kehidupan dalam peradaban yang saling menguntungkan, sehingga manusia dapat hidup secara layak dan harmonis karena layanan alam yang menjadi penopangnya.

Namun ketika, kapitalisme dan komoditisasi SDA dan hutan yang ternyata menyebabkan suatu krisis hubungan antara manusia dan SDA. Pola hubungan ekploitatif oleh kekuatan kapital, dalam penglahan SDA dan hutan investasi belum menunjukkan dorongan terhadap rasa keadilan dan berkelanjutannya bagi rakyat banyak.

Komersialisasi dan moneteralisasi diberbagai bidang secara pasti telah memarginalkan dan menyingkirkan peran masyarakat lokal dalam pengelolahan SDA, sehingga hampir semua titik yang sudah mengeksploitasi  SDA selalu menoreh masalah yang kelam, beberapa masalah yang kerab mencuat kepermukaan, diantaranya:

1.    Konflik Berkepanjangan

Dalam sejarah ekploitasi SDA dalam skala besar yang melbatkan perusahaan besar dan agen kapitalisme global, selalu ada tejadi konflik,baik konflik itu terjadi antar masyarakat yang pro dan kontra, antara masyarakat yang dirugikan dengan pihak perusahaan, maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Eksploitasi mineral di Papua misalnya, beberapa suku asli berhadapan dengan Freeport, Sumatra Utara dengan Indorayon, warga Sumbawa dengan Newmont Nusa Tenggara, suku Dayak dengan HPH, KKB, KK, dan daerah lain juga mengalami hal yang sama. Setidaknya ada tiga hal pokok yang melatarbelakangi konflik-konflik penguasaan SDA dan hutan, yakni:
Pertama, Kuatnya intervensi modal dalam sistem ekonomi nasional, yang berujung pada pemihakan yang berlebihan pada kapital dari penyelenggaraan negara. Hal ini jelas terlihat dalam paradigma pembangunan nasional yang menekankan pertumbuhan ekonomi pada dekade sebelumnya, tanpa memperhatikan pemerataandan keadilan bagi warga negara.

Kedua, dominannya pemerintah dengan memposisikan diri sebagai yang paling menentukan arah pembangunan, sehingga sentralisasi keputusan dan kebijakan pemerintah menjadi hal yang lumrah saja, tidak perduli terhadap keberadaan masyarakat lokal yang tergantung hidupnya dari sumber daya hutan. Tindakan tersebut melahirkan berbagai mekanisme penaklukan sosial terhadap masyarakat lokal.

Ketiga, lemahnya jaminan dan perlindungan formal negara terhadap hak-hak masyarakat lokal atau adat dalam perundang-undang nasional. Kondisi tersebut diperburuk oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat lokal tentang hak-hak mereka dalam bingkai kebijakan dan peraturan yang dikembangkan oleh pemerintah.

2. Pemiskinan Masyarakat Asli

Indonesia adalah negara tropis yang kebanyakan warganya hidup mengandalkan basis ekonomi agraris, sehingga tingkat ketergantungan hidup masyarakatnya dari kekayaan agraria dan SDA sekitarnya sangat kuat.

Namun ketika investasi datang meluruhlantakan SDAnya (sumber penghidupan) maka dapat dipastikan terjadi penyingkiran yang sistematik (marginalisasi) Masyarakat dari sumber penghidupannya, dan pasti proses produksi masyarakat asli akan terganggu dan menjadi tidak berdaya (miskin). Ini terjadi tentunya karena masyarakat kehilangan hak atas tanah, kehilangan hak atas hutan dan SDAnya yang selama ini telah memberikan sumbangsih bagi kehidupannya.

Suramnya kondisi ekonomi masyarakat yang tersingkir dari tanahnya, mendorong berkembangnya pengangguran dan kemiskinan. Kita saksikan kwalitas kehidupan sangat buruk bagi masyarakat disekitar kawasan investasi, perawat kesehatan yag minim, pendidikan analk yang seadanya. Persaingan dan pergulatan hidup yang semakin keras karena berhadapan dengan peningkatan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.

Beberapa tahun silam Mimika di Papua menjerit dalam ketidakberdayaan ekonominya, begitu juga masyarakat disekitar tambang Newmont Nusa Tenggara kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat 62% rumah tangga warganya sebagai penerima BLT. Tentu ini sebuah ironi karena keberadaan investasi seharusnya mereka sejatera dari hasil SDAnya.

3. Penghancuran Lingkungan Hidup

Tidak bisa dipungkiri, bahwa kegiatan eksploitasi yang besar-besaran terhadap SDA membawa konsekwensi bagi penurunan kualitas ekosistem hutan, sungai, danau, pesisrr dan kelautan yang disebabkan oleh aktivitas pemanfaatan yang tidak melihat akibat jangka panjang, seperti konversi hutan untuk HTI, HPH, Transmigrasi, Perkebunan, Pertambangan dan lain-lainnya (Richard B. Primack).

Eksploitasi juga sangat berdampak kepada penghancuran dan pemusnahan spesies dan keanekaragaman hayati perusahaan-perusahaan seperti perusahaan Pertambangan dan penebangan kayu merupakan kegiatan-kegiatan manusia yang paling merusak menurut lingkungan hidup, seraya memainkan peran penting bagi musnahnya dengan cepat hutan-hutan yang tumbuhnyta lambat serta rawa-rawa. Hilangnya habitat-habitat yang kerab kali tidak dapat digantikan itu sedang menguras gudang keanekaragaman hayati dunia. Para ilmuwan memperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 50 Spesies pertahun -140 spesies setiap harinya –akan lenyap (Leter R. Brown).

Sementara kita ketahui bahwa Inddonesia adalah salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman hayati didunia setelah Cina dan Brazil, kekayaan yang berlimpah ini tak ternilai bagi kemanusian. Bila tidak ada satu strategi yang baik untuk mengembangkan konsep pembangunah berkelanjutan maka kemungkinan besar keanekaragaman hayati Indonesia akan hilang dan mejadi tergantung dengan negara lain.

4. Ancaman Bencana Alam

Terjadinya konversi lahan hutan kepada berbagai kegiatan industri, membawa dampak kepada kerusakan ekologis dan ekosistem, dan inilah yang telah mempengaruhi daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan petaka bagi kelestarian keaneka ragaman hayati, bagi ketersediaan air, bagi kenyamanan iklim tropis.

Dampak lingkungan kian hari kian mendegradasi daya dukung lingkungan, sehingga bencana alam selalu datang silih berganti diseantero negeri ini. Banjir, tanah longsor, kekeringan/pemanasan global, gempa bumi, perubahan iklim dan kebakaran hutan menjadi musibah yang selalu akrab mengintah masyarakat yang brada didekat lokasi titik kerusakan lingkungan hidup.

Akhirnya kerugian di derita oleh sebagian rakyat akibat bencana alam, kerugian lebih besar dibandingkan dengan keuntungan dan manfaat yang diperoleh negara dari kegiatan ekonomi yang merusak lingkungan, sementara tiap tahunnya biasa yang harus dikeluarkan untuk menanggukangi bencana diatas Rp 8 triliun. Kerusakan hutan adalah penyebab utama beragam bencan alam yang terjadi

5. Jalan Pintas Menuju Kebangkrutan Bangsa

SDA Indonesia yang melimpah menjadi incaran para investor asing, dan mendapat sambutan yang hangat dari pemerintah lewat keleluasaan yang diatur dalam UU penanaman modal asing. Dari hulu hingga hilir, SDA kita telah dikuasai oleh pihak asing, jadi sudah berapah besarkah kekayaan alam kita yang dikuras dibawah keluar negeri.

Semantara aturan tertinggi secara konstitusional termasuk dalam UUD 45 pasal 33 ayat 2 “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” namun pemerintah mengingkarinya dengan kuasanya telah secara sewenang-wenangnya memberikan konsesi berlebihan pada modal asing.

Sementara pendapatan negara hanya didapat dari royalti, pajak dan iuran perusahaan yang tidak seberapa bila dibandingkan yang dibawah keluar Indonesia. Pengelolaan yang salah selama ini dianggap prestasi monumental dalam konglomerasi SDA dan hutan yang identik dengan praktek kapitalisme, dan memarginalkan masyarakat yang survival dari sumber daya hutan (Ysagaroa).

Saat ini kita menghadapi krisis multidimensi, tidal hanya persoalan finansial semata tapi kita juga sedang menuju kearah kebangkrutan ekonomi, karena ketersediaan SDA sebagai modal ekologi yang fundamentalcadangan sudah berkuran drastis. Seperti yang dikatakan oleh Patricia Adams “SDA diperlakukan sebagai pemberian-pemberian dari alam ketimbang sebagai aset-aset produktif yang nilainya harus didepriasasikan, jika masih digunakan”,”sebuah negara dapat menghabiskan sumber-sumber daya mineral, menebangi hutan-hutannya, mengikis tanah-tanahnya, mencemari airnya, dam memburu margasatwa dan perikanannya hingga punah, tetapi pendapatan yang diukur tidak akan dipengaruh ketika aset-aset ini lenyap”.


6. Setia Melayani Kuasa Imprealism

Posisi negara kita yang lemah karena tingkat ketergantunan ekonomi (hutang) dan politik dengan negara maju maju sangat tinggi, sehingga kondisi ini di manfaatkan oleh kapitalisme global dalam mengurus SDA kita selain ii pola dan tatanan dunia secara global sangat menguntungkan posisi Corporatocrasi,”membangun kekuasaan global, dengan memanfaatkan organisasi keuangan internasional untuk menjadikan bangsa-bangsa lain tunduk pada Corporatocrasi” (John Perkins), menjadi skema globalisasi yang dimotori oleh WTO bersama Organisasi sejawatnya dengan pemerintah negara G7 dimaksudkan untuk melemahkan posisi negara berkembang yang mempunyai SDA berlimpah seperti Indonesia.

Menurut Patricia Adams “di Indonesia sebagaimana di Brazilia, negara menggunakan milyaran dolar –sebagian besar dikumpulkan melalui pinjaman-pinjaman asing atau dari penghasilan minyak kurang atau mengkolonisasi hutan”.”setiap peningkatan produksi menjadi pengganti kerugian yang setara dalam produkttifitas tanah, suatu persetujuan yang bodoh, yang menjadi perekonomian Indonesia terinjak-injak”.

Dalam ketimpangan tatanan dunia seperti i i membuat milyaran jiwa penduduk dunia hidup dalam kesengsaraan, di Indonesia jutaan rakyak menjerit karena kekurangan pangan, mahalnya BBM, tingginya tarif listrik, biaya sekolah dan berobat mahal. Namun kondisi seperti tak mendorong penyelenggara negara untuk berpihak secara total untuk kepentingan masyarakatnya, tapi pemerintah tetap santun melayani kepentingan neoliberalisme global.

Kita dapat liat bagaimana kuat dan perkasanya modal dalam mendorong lahirnya Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan undang-undang nomor 41 Tahun 1999, yang memberikan ruang bagi investasi (modal) untuk menghancurkan benteng terakhir ikhtiar perlindungan Sumber Daya Hutan (Ysagaroa).

7. Mereduksi Hakikat Kebijakan Negara

Terkait dengan keberadaan SDA, amanat konstitusi tertinggi yang kita sepakati dalam pasal 33 ayat (2, 3, 4) UUD 1945 dan Amandemennya, (3)”bumi dan air dan kekayaan alam yan terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Namun, nyatanya terjadi ambivalensi dan tumpang tindih antarasatu kebijakan dengan kebijakan lainnya.

Konsep hak dalam menguasai negara (HMN) menjadi instrumen dasar dalam eksploitasi SDA di Indonesia, secara historis melalui konsep ini pemerintah telah mengingkari semangat demokrasi ekonomi dan pencapaian kesejahteraan rakyat, hal ini terjadi karena paradigma pertumbuhan yang di usung memberikan rung yang berlebihan pada praktek destruktif dan eksploitatif bagi SDA lewat praktek penyerahan wewenang pada perusahaan- perusahaan asing secara besar.

Beberapa kebijakan yang mendukung praktek “sesat” ini diantaranya melalui pemberlakuan scema per undang- undang nasioal, seperti UU No. 5 tahun 1860 tentang pokok- pokok agraria, UU No.20 tahun 1861 tentang pencabutan hak atas tanah, UU No5 tahun 1967 tentang pokok- pokok kehutanan (dan penggantinya UU 41/ perpu No 1 tahun 2004 tentang perubahan UU No 41 tahun 1999) dan UU No 11 tahun 1967 tentang pokok- pokok pertambangan, didukung oleh UU No.9 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, kemudian pada tanggal 3 Juli 1968, di keluarkan UU No.6 tahun 1968 tentang penanaman modal dalam negeri.

Kebijakan otonomi daerah yang didasarkan UU No.32 tahun 2004 sebagai penyempurnaan dari UU 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah, serta adanya UU 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dimaknai sebagai desentralisasi kekuasaan, telah mendorong daerah-daerah untuk melirik dan mengandalkan SDA sebagai sumber PAD sehingga maraklah beragam PERDA dan kebijakan pemberian izin oleh kepala daerah kepada beragam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi oleh investor, dan ini menjadi ancaman yang nyata bagi ketersediaan daya dukung SDA kita.


Penutup

Kesimpulan dan Saran Pemecahan


Eksploitasi SDA telah dijadikan alat bagi percepatan pertumbuhan ekonomi negara, dan secara pasti telah meningkatkan akumulasi aset bagi negara- negara yang menguasai modal dan teknologi, seperti negara G7. Berbarengan dengan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi terjadi juga beragam dampak negatif bagi lingkungan maupun dampak sosial yang sangat besar dialami oleh sebagian besar masyarakat kita.

Eksploitasi besar-besaran yang dilakukan telah mengingkari hakikat demokratisasi ekonomi dan amanat pasal 33 UUD1945, Secara umum dapat dikatakan bahwa SDA kita tidak dikelola secara benar, karena lebih mengedepankan orientasi ekonomi bagi segelintir orang dan golongan dari berbagai tingkatannya, sehingga saat ini sebagian besar rakyat kita menghadapi kesulitan hidup dalam situasi krisis multidimensi.

Dari beberapa masalah seperti paparan diatas, mesti dikembangkan suati strategi nasional untuk penyelamatan aset SDA kita yang masih tersisa, dengan menghentikan pemberian konsesi baru bagi kegiatan eknsplorasi dan eksploitasi SDA da;lam skala besar.

Secara regulatif perlu upaya untuk mengembangkan kebijakan yang berorientasi pada pelestarian lingkungan yang berpihak pada masyarakat, dengan melakukan singkronisasi kebijakan dan menempatkan kebijakan sektoral dan binkai UU pengolahan SDA dan UUD yang sudah diamandemen.

Daftar Pustaka

Adams, Patricia.1991.Odious Debs.Jakarta : PT. Binarena Pariwara

Perkins, Jhon.1995.Masa Depan Bumi.Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Sagaroa, Yani.2005.”Kebijakan Dan Kelembagaan CBFM di Tingkat Nasional”makalah ini disampaikan pada acara “Workshop Kelembagaan CBFM”:Yogyakarta

Sagaroa, Yani.2006.Tambang Dan Kemiskinan di Sumbawa, di sampaikan pada diskusi regular HMI cabang Sumbawa. Sumbawa Besar

Sagaroa, Yani.2005.Tambang dan Kemiskinan di Sumbawa, makalah disampaikan pada Seminar HMI di UNSA Sumbawa. Sumbawa Besar

UUD 1945 (Telah Diamandemen).Surabaya : Apollo

http://www.jatam.org/content/view/732/1/